Saturday, January 14, 2012

Tugas Perencanaan Wilayah

Critical Review

Penerapan Pendekatan Top-Down dan Bottom-Up dalam Pembangunan

Studi Kasus: Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk menunjukkan bertambahnya kebutuhan penduduk, sehingga diperlukan adanya suatu perencanaan dalam pengembangan wilayah. Perencanaan dibutuhkan agar pembangunan tersebut dapat berjalan sesuai target dan tepat sasran. Terdapat dua model pendekatan dalam perencanaan, yaitu pendekatan top-down di mana pemerintah memiliki andil yang sangat dominan dan tidak melibatkan masyarakat, serta pendekatan bottom-up di mana menyertakan partisipasi masyarakat. Pada studi kasus pembangunan tol trans jawa pendekatan yang digunakan adalah top-down tanpa melibatkan masyarakat, sehingga timbul beberapa konflik di mana masyarakat merasa dirugikan.

Kata kunci: Perencanaan, top-down, bottom-up, partisipasi

I. PENDAHULUAN

Perencanaan adalah proses yang berlanjut, terdiri dari keputusan atau pilihan dari berbagai cara untuk menggunakan sumber daya yang ada, dengan sasaran untuk mencapai tujuan tertentu di masa mendatang (D. Conyers dan Hills, 1984). Perencanaan dalam sebuah kota bertujuan memilih berbagai alternatif tujuan agar tercapai kondisi kota yang ideal. Oleh karena itu perencanaan kota merupakan suatu pemikiran rasional dan kegiatan implementatif untuk mengakomodasi kebutuhan baru di masa datang. Hal ini dimaksudkan untuk memprediksi perkembangan wilayah.

Adanya pertumbuhan penduduk juga menunjukkan perlu adanya perubahan sebagai wujud perkembangan dari suatu wilayah. Dengan adanya kebutuhan untuk mengembangkan wilayah sehingga harus membuat perubahan yang terencana pula. Oleh karena itu perencanaan kota harus mencerminkan kondisi yang berkesinambungan karena dalam proses pelaksanaannya penyusunan suatu perencanaan pembangunan tidak akan lepas dari kecenderungan perkembangan yang terdapat di kota dan arahan pembangunan dari dokumen perencanaan di atasnya.

Terdapat dua pendekatan dalam penyusunan proses perencanaan yaitu perencanaan secara top-down dan perencanaan secara bottom-up. Pada awalnya perencanaan di Indonesia menganut sistem perencanaan top-down, hal tersebut kental terasa saat rezim pemerintahan presiden Soeharto. di mana Presiden Soeharto bertindak secara otoriter dalam setiap pengambilan keputusan.

Seiring berjalannya waktu di mana Indonesia telah menjadi negara yang demokratis dengan adanya kebebasan berpendapat dan beraspirasi maka patutnya terjadi perubahan pula pada paradigma perencanaan atau paham perencanaan yang dianut.

Tantangan dan perubahan paradigma di dunia perencana, menuntut perencana untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Dominasi pemerintah terhadap masyarakat hanya melahirkan sebuah sikap apatis dari masyarakat terhadap pemerintah dan produk perencanaan. Sikap apatis yang melahirkan ketidakefisienan dari pelaksanaan perencanaan karena tidak ada dukungan dari masyarakat terhadap produk perencanaan.

Seperti halnya pada pembangunan tol Semarang-Solo dan Solo-Ngawi, tanpa adanya diskusi bersama dengan masyarakat pemerintah setempat membangun jalur tol tersebut, dimana lahan yang digunakan merupakan lahan subur yang merupakan sumber penghasilan para petani di sekitar lahan tersebut, selain itu juga terdapat industri yang dimusnakan yang menyebabkan para pekerja kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu sangat penting melibatkan masyarakat dalam suatu pembangunan agar suatu perencanaan tidak berjalan sia-sia karena pada akhirnya yang menikmati perencanaan tersebut adalah masyarakat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pula.

II. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Apakah pengertian dari top-down dan bottom-up planning?

2. Bagaimana peran perencana pada pembangunan berbasis pendekatan top-down dan bottom up planning?

3. Bagaimana kritisi pendekatan top-down dan bottom-up planning berdasarkan kasus pembangunan jalan tol trans semarang?

III. STUDI KASUS

Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa

Pemerintah pusat membuat dua kebijakan yang kontradiktif. Di satu pihak lewat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong penghematan pemakaian bahan bakar minyak dengan cara memotong subsidi untuk tiga jenis bahan bakar, yaitu premium, minyak tanah, dan solar, dan melalui Departemen Pertanian mendorong terwujudnya swasembada pangan. Tapi di lain pihak, melalui Departemen Pekerjaan Umum (DPU), pemerintah mendorong terwujudnya jalan tol Trans Jawa sepanjang lebih dari 1.000 kilometer. Padahal kebijakan ini jelas bertentangan dengan kebijakan penghematan BBM karena pembangunan jalan tol itu secara otomatis akan memicu penggunaan mobil pribadi. Dan peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berarti memboroskan BBM.

Jalan tol dibangun memang untuk memfasilitasi pergerakan mobil pribadi yang lebih banyak. Angkutan umum, terutama untuk jarak pendek, tidak dapat melewatinya karena tidak dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Dengan demikian, pembangunan jalan tol Trans Jawa itu secara otomatis akan meningkatkan penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi, dan pemerintah harus memberikan subsidi lebih besar kepada para pemilik kendaraan pribadi tersebut.

Pembangunan jalan tol Trans Jawa, selain akan memboroskan penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi, akan menimbulkan bencana yang lebih besar lagi berupa kerusakan lingkungan, mengganggu swasembada pangan, dan proses pemiskinan yang massif. Ambil contoh jalan tol Semarang-Solo dan Ngawi-Solo. Kedua jalan tol itu akan melintasi daerah pertanian yang subur, yang selama ini menjadi salah satu andalan penghasil padi di daerah masing-masing. Jalan tol Semarang-Solo akan menghancurkan beberapa situs dan menggusur tiga pabrik. Sedangkan tol Solo-Ngawi akan menggusur lahan pertanian dan beberapa sekolah dasar. Bila tanah-tanah yang subur itu digilas untuk jalan tol, demikian pula pabrik yang menampung ribuan tenaga kerja itu digusur untuk jalan tol, jelas itu akan mengurangi jumlah produksi padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta akan melahirkan angka pengangguran dan kemiskinan baru.

Pembangunan jalan tol Trans Jawa ini memang suatu ironi besar, karena Jawa memiliki jaringan rel kereta api yang bagus dan belum dimanfaatkan secara optimal, hanya berfungsi pada malam hari dan pada siang hari lebih banyak kosongnya. Bila kebutuhan pemerintah adalah memperlancar lalu lintas, termasuk lalu lintas barang, tidak perlu
membangun jalan tol Trans Jawa, tapi cukup mengoptimalkan penggunaan jaringan rel kereta api yang sudah ada saja. Optimalisasi jaringan rel di Jawa itu dapat meningkatkan produktivitas PT Kereta Api, mengerem penggunaan BBM dalam sektor transportasi, tidak merusak lingkungan, tidak menciptakan proses pemiskinan baru di masyarakat, serta tidak
memerlukan investasi yang besar. Pemerintah tinggal berinvestasi untuk perbaikan jaringan rel yang rusak serta menambah gerbang dan lokomotif baru. Ini bila kepentingan membangun tol Trans Jawa itu adalah untuk memperlancar lalu lintas orang maupun barang.

Tapi bila kepentingannya adalah bisnis jalan tol, pembangunan tol Trans Jawa merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan karena sangat menguntungkan. Pangsa pasarnya sudah jelas, kendaraan pribadi dan angkutan barang. Tapi janganlah memakai kedok kepentingan masyarakat untuk mendapatkan keuntungan besar tersebut. Sebab, yang terjadi sesungguhnya adalah masyarakat akan dirugikan oleh adanya pembangunan jalan tol Trans Jawa tersebut.

Oleh: Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia

Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/02/23/Opini/krn.20080223.123782.id.html

IV. PEMBAHASAN

A. Pengertian pendekatan TOP-DOWN dan BOTTOM-UP PLANNING

Dalam suatu proses perencanaan pembangunan dibutuhkan suatu pendekatan perencanaan yang digunakan sebagai pengambil keputusan serta menunjukkan bagaimana proses perencanaan tersebut dilakukan hingga muncul suatu pengambilan keputusan pada produk rencana. Pendekatan perencanaan yang dimaksud adalah pendekatan secara top-down atau bottom-up.

Pendekatan top-down planning, di mana penentuan keputusan tidak menampung semua aspirasi elemen di kelompok, tetapi hanya mementingkan keputusan bagian tertentu dalam kelompok. Top-down planning merupakan model perencanaan yang dilakukan dari atasan yang ditujukan kepada bawahannya dimana yang mengambil keputusan adalah atasan sedangkan bawahan hanya sebagai pelaksana saja. Dalam pengertian lain terkait dengan pemerintahan, perencanaan top-down planning atau perencanaan atas adalah perencanaan yang dibuat oleh pemerintah ditujukan kepada masyarakat dimana masyarakat sebagai pelaksana saja.

Sedangkan Buttom-Up Planning adalah perencanaan yang dibuat berdasarkan kebutuhan, keinginan dan permasalahan yang dihadapi oleh bawahan bersama-sama dengan atasan menetapkan kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan juga berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan dalam pengertian dibidang pemerintahan, bottom-up planning atau perencanaan bawah adalah perencanaan yang disusun berdasarkan kebutuhan mereka sendiri dan pemerintah hanya sebagai fasilitator.

Berdasakan pengertian di atas maka dapat diketahui kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan perencanaan baik pendekatan secara TOP-DOWN mapun secara BOTTOM-UP

1. TOP-DOWN PLANNING

Kelebihan

Kelemahan

· Mayarakat tidak perlu bekerja dan memberi masukan, karena rencana tersebut dapat berjalan sendiri karena peran pemerintah yang optimal

· Hasil yang dikeluarkan bisa optimal karena biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh pemerintah

· Lebih cepat dalam mengambil keputusan karena keputusan hanya berasal dari salah satu pihak dan bukan merupakan kesepakatan

· Kurangnya peran aktif masyarakat dikarenakan dominasi peran pemerintah (steakholder) dibandingkan peran masyarakat, yang merupakan target dario suatu perencanaan.

· Mayarakat hanya berperan sebagai objek penerima keputusan, tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan rencana dari awal hingga akhir perencanaan tersebut.

· Adanya suatu perencanaan yang tidak tepat sasaran dikarenakan apa yang diperlukan oleh masyarakat tidak dapat diakomodir oleh pemerintah diseabkan pemerintah yang tidak mengerti kebutuhan masyarakat.

· Rawannya terjadi konflik antara pihak pemerintah dan masyarakat

2. BOTTOM-UP PLANNING

Kelebihan

Kelemahan

· Perencanaan yang dihasilkan merupakan suatu perencanaan partisipatif.

· Mayarakat memiliki andil yang cukup besar dalam memberikan masukan kepada pemerintah dalam menjalankan suatu program

· Merupakan perencanaan yang tepat sasaran karena sesuai kebutuhan dan keinginan masyarakat karena info dan ide yang berasal dari masyarakat itu sendiri sehingga masyarakat yang paling mengerti apa yang mereka butuhkan.

· Masyarakat terpacu lebih kreatif dalam mengeluarkan ide karena peran mereka yang cukup besar dalam proses perencanaan

· Masyarakat dilibatkan dalam proses dari awal hingga akhir sehingga masyarakat dapat memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan yang mereka lakukan.

· Tidak selamanya hubungan pemerintah dan masyarakat akan berjalan baik, karena adanya selisih paham yang muncul serta adanya ide yang berbeda yang akan menyebabkan kerancuan karena kurang jelasnya pembagian tugas antara pemerintah dan masyarakat.

· Lebih memakan waktu, biaya dan tenaga yang lama karena harus adanya singkronisasi.

B. Peran Perencana pada Pembangunan yang Memiliki Pendekatan TOP-DOWN dan BOTTOM-UP PLANNING

Dalam suatu perencanaan terdapat beberapa pihak yang terlibat suatu produk rencana tersebut, baik terlibat secara langsung ataupun tak langsung tergantung pendekatan perencanaan yang dianut. Pihak-pihak terkait tersebut adalah pemerintah, swasta, masyarakat, dan perencana.

Pada pendekatan top-down planning di mana pemerintah yang memiliki andil terbesar dan mutlak sehingga dalam hal ini peran dari perencana pun tidak memiliki pengaruh yang besar karena di sini perencana hanya mengikuti apa yang menjadi permintaan dari pemerintah. Dalam pendekatan top-down ini semua keputusan berada di tangan pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai objek dari suatu perencanaan tanpa ikut campur tangan dalam perencanaan.

Pada hakikatnya penataan ruang merupakan sebuah upaya membuat rencana untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu langkah ke depan selanjutnya adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses perencanaan. Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan termasuk salah satu metode pendekatan bottom-up planning.

Dalam hal ini perencana memiliki peran sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kali ini perencana memiliki tugas memberdayakan dalam bidang tata ruang. Melakukan perencanaan atas kepentingan masyarakat sejatinya seiring dan sejalan dengan melakukan perencanaan bersama masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai bagian dari proses perencanaan dan perencanaan bagian dari proses bermasyarakat.

Dalam upaya pengembangan wilayah dan pembangunan kota secara bottom-up, peran pemerintah akan lebih ditekankan pada penyiapan pedoman, norma, standar dan peraturan, pengembangan informasi dan teknologi, perumusan kebijakan dan strategi nasional. Sementara disisi lain, masyarakat semakin dituntut untuk mengenali permasalahan wilayah dan kota dan pemecahan yang inovatif yang tidak lagi tergantung pada pemerintah, meskipun pemerintah masih mempunyai kewajiban membantu dalam pembangunan wilayah. Seorang perencana pada akhirnya harus dapat menjadi seorang komunikator dalam proses politik yang terjadi, untuk mengkomunikasi kepentingan berbagai pihak.

C. Critical Review Pendekatan TOP-DOWN dan BOTTOM-UP PLANNING pada Studi Kasus Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa.

Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa memiliki pandangan yang kontradiktif, disatu sisi pemerintah ingin menekan penggunaan BBM dan meningkatkan swasembada pangan, namun rencana yang justru sedang di bicarakan adalah mengenai pembangunan Tol Trans Jawa. Tidak konsistensinya pemerintah justru menunjukkan betapa buruknya perencanaan tersebut karena tidak memperhatikan dampak-dampak yang akan timbul.

Seharusnya rencana yang dilakukan bukan pembangunan jalan tol melainkan membangun angkutan umum senyaman mungkin dengan tujuan mengurangi minat masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Dengan perbaikan dan optimalisasi layanan angkutan umum massal serta pembatasan penggunaan kendaraan pribadi akan mengurangi penggunaan BBM secara signifikan.

Selain angkutan umum, fasilitas untuk moda angkutan tidak bermotor, seperti sepeda, becak, dan atau dokar yang tidak menggunakan BBM dan tidak berpolusi, juga harus dikembangkan agar masyarakat memiliki alternatif untuk melakukan mobilitas secara mudah dan murah.

Dalam kajian ini pemerintah mengunakan pendekatan perencanaan secara top-down sehingga output yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah merasa dengan membangun jalan tol diharapkan dapat meningkatkan perekonomian perkotaan, namun berbeda persepsi dengan masyarakat, dengan adanya pembangunan jalan tol justru menghilangkan sebagian lahan yang menjadi ladang penghasilan. Disinilah seharusnya pemerintah dan masyarakat duduk bersama bertukar pikiran tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga outputan dari perencanaan tersebut juga tepat sasaran. Dalam hal ini perencana akan bertindak sebagai fasilitator yang mampu menjembatani pihak pemangku kepentingan dengan masyarakat di mana masyarakat, pemerintah, swasta, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dipertemukan untuk saling mengutarakan ide bagi perencanaan.

Model pendekatan secara bottom-up semacam ini diyakin ampuh dalam menggiring kemajuan suatu pembangunan perkotaan. Hal tersebut dikarenakan adanya komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat di mana akan memberikan masukan kepada perencana sebagai mediator mengenai masalah dan keinginan mereka sehingga dapat menciptakan suatu perencanaan yang tepat sasaran.

V. KESIMPULAN

Terdapat dua sistem pendekatan dalam perencanaan yaitu perencanaan secara top-down dan bottom-up, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada perencanaan top-down pemerintah sebagai pemegang kekuasan dan pemegang kebijakan cenderung mengambil langkah-langkah instan baik dalam perumusan maupun penerapannya. Sehingga dapat menimbulkan berbagai konflik seperti pada studi kasus pembangunan tol Semarang-Solo dan Ngawi-Solo. Perumusan rencana yang tidak melibatkan masyarakat justru akan menimbulan masalah baru, selain itu bisa jadi rumusan solusi yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat akibat salah menganalisis. Hasilnya perencanaan pun tidak mendapat dukungan untuk diimplementasikan.

Oleh karena itu pendekatan yang dianggap paling baik adalah suatu sistem gabungan dari kedua jenis sistem tersebut karena banyak sekali kelebihan yang terdapat didalamya antara lain adalah selain masyarakat mampu berkreasi dalam mengembangkan ide-ide mereka sehingga mampu berjalan beriringan bersama dengan pemerintah sesuai dengan tujuan utama yang diinginkan dalam mencapai kesuksesan dalam menjalankan suatu program

DAFTAR PUSTAKA

Dharmaningtyas. 2010. Pembangunan Jalan Tol Trans Jawa. Sumber: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/02/23/Opini/krn.20080223.123782.id.html

(diakses tanggal 27 Oktober 2011)

Conyers, D. and P. Hills, 1984. An Introduction to Development Planning in the Third World dalam Mulyati, Endang. 2010. Analisis Konsistensi Tinjauan Literatur.

No comments:

Post a Comment